Home » 2016
Yearly Archives: 2016
Early Access of My Article on IEEE Transaction on Mobile Computing 2016
Finally, my 1st international journal titled E-MICE: Energy-Efficient Concurrent Exploitation of Multiple Wi-Fi Radios (Yuris Mulya Saputra and Ji-Hoon Yun) has been published as early access article on IEEE Explore before officially published as the next issue.
Abstract :
The concurrent use of multiple Wi-Fi radios in individual frequency channels is a solution readily available today to the increase of a mobile station’s communication capacity, but at the expense of occasional performance deterioration (when the heterogeneity of capacity between interfaces gets severe) and additional power consumption. This paper proposes a mobileside solution for the concurrent use of multiple radios in a performance-aware and energy-efficient manner, with which a mobile station activates and deactivates radio interfaces dynamically according to traffic demands and a predicted capacity gain. To this end, the proposed solution is composed of multiple prediction algorithms and a control algorithm. Prediction when activating an additional radio interface is relatively difficult since no information of the disabled interface’s current status (and the corresponding frequency channel’s) is available at the time of prediction. Our experiments show that, despite different types and used channels, different radio interfaces have a strong correlation of received signal strengths and used PHY rates between them. Based on this observation, the proposed solution learns a correlation pattern between interfaces whenever multiple interfaces are active and makes prediction of the coverage, expected PHY rate and capacity impact of an inactive interface based on the learned correlation with a currently active interface. The design of the prediction algorithms are based on a simple or machine-learning technique (SVM). The control algorithm then keeps monitoring the utilization of active interfaces and, if any of them has utilization over a threshold, checks if each inactive interface is within coverage and a valid rate range based on an active interface’s received signal strength. Finally, an action of a configuration change (either activation, deactivation or no change) selected based on the prediction of the resulting capacity is applied. Testbed experiments using COTS dual-band Wi-Fi interfaces demonstrate that the solution can enhance throughput by up to 29.6% (in a close distance to AP) and at most halve power consumption compared to legacy aggregation while the gain varies depending on the location and traffic conditions.
For early access article on IEEE, you can check or buy HERE.
Two collaboration papers has been presented in 10th International Conference on TSSA 2016
Two collaboration papers titled :
- Case Studies Analysis on BGP : Prefix Hijacking and Transit AS l (Rifqy Hakimi, Yuris Mulya Saputra, Beny Nugraha)
- The Effect of Packet Loss and Delay Jitter on the Video Streaming Performance Using H.264/MPEG-4 Scalable Video Coding (Yuris Mulya Saputra, Hendrawan)
has been accepted and presented on 10th International Conference on Telecommunication Systems Services and Applications (TSSA) 2016 held by Bandung Institute of Technology (ITB) in Kuta, Bali Oct 6-7.
For more information please check TSSA 2016 Program.
[Travelling Notes] Jeju Island : A World Natural Heritage from Korea (Indonesian Version)
*Seperti yang telah diceritakan secara singkat di POST ini.
Traveling atau bertamasya merupakan salah satu hobi dan kegiatan saya selama tinggal di Korea Selatan di sela-sela tugas saya selama menjadi mahasiswa S-2. Banyak sekali tempat wisata yang sangat indah disana. Namun banyak sekali pelancong yang hanya mengetahui Seoul yang merupakan ibukota negara sebagai pusat wisata di Korea Selatan. Seperti banyak orang ketahui, Seoul memang terkenal dengan wisata sejarah yang berkaitan dengan istana dan tempat-tempat tradisional serta wisata modern yang banyak berkaitan dengan dunia perbelanjaan dan landmark populer seperti Seoul Tower dan gedung-gedung pencakar langit di daerah Gangnam.
Selama tinggal di Korea Selatan selama tiga tahun, memang saya lebih banyak menghabiskan jalan-jalan di kota Seoul dan kota-kota sekitarnya di daerah utara Korea Selatan sampai dengan perbatasan dengan Korea Utara. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu untuk melakukan wisata jarak jauh dan keterbatasan dana selama dua tahun berada di Korea. Namun sejak lulus dari studi S-2 saya, pertimbangan untuk melakukan wisata ke daerah selatan Korea Selatan menjadi semakin besar. Hal ini dipicu setelah saya banyak mengobrol dengan teman-teman Korea saya bahwa ada satu tempat wisata paling populer di Korea Selatan yang sering dikunjungi oleh warga negara Korea Selatan sendiri. Tempat wisata tersebut dikenal dengan nama Pulau Jeju. Sedikit heran karena Korea Selatan selama ini hanya terkenal bagian daratannya saja, tetapi ternyata justru pulau inilah yang sangat terkenal.
Pulau Jeju merupakan pulau yang terletak di sisi paling selatan dari semenanjung Korea yang berbatasan laut dengan negara Jepang bagian selatan dan ujung daratan Korea Selatan di bagian utaranya. Pulau ini merupakan satu-satunya pulau besar di Korea Selatan yang memiliki gunung yang aktif dan tertinggi di Korea Selatan yang bernama Gunung Halla dengan ketinggian kurang dari 2000 meter diatas permukaan laut. Pulau ini memiliki besar kurang lebih seperti pulau Bali di Indonesia. Pulau ini juga dinobatkan sebagai salah satu World Natural Heritage oleh UNESCO, World 7 Wonders of Nature, dan juga tiga tempat wisata disana selain dari pulaunya sendiri juga masuk dalam warisan dunia yang dikokohkan oleh UNESCO. Karena pulau ini terletak di bagian paling selatan semenanjung Korea, lingkungan alam pulau ini sedikit berbeda dengan daerah daratan semenanjung Korea yang merupakan wilayah subtropis dan justru hampir mirip dengan daerah tropis seperti negara-negara di ASEAN. Di pulau ini, pohon palem yang mirip kelapa dan beberapa tumbuhan tropis dapat tumbuh dengan baik di pulau ini.
Kembali ke cerita traveling saya, saya baru sempat berkunjung ke pulau ini setelah hampir tiga tahun tinggal di Korea Selatan. Hal ini bisa dikatakan sangat telat banget bagi orang asing yang sudah cukup lama tinggal di Korea Selatan. Pada awal tinggal di Korea Selatan sebenarnya rencana untuk kesana sudah ada namun tidak terealisasi karena perencanaan yang kurang matang dan kesibukan di laboratorium sebagai kuli riset. Rencana ini benar-benar terealisasi sebelum saya pulang ke Indonesia setelah perencanaan yang matang bersama empat teman saya satu kampus yang berasal dari berbagai negara. Perencanaan menuju kesana membutuhkan waktu sekitar satu bulan. Ada beberapa hal yang diperlukan sebelum berangkat menuju ke pulau Jeju diantaranya adalah tiket pesawat, rencana tempat wisata yang akan dikunjungi, akomodasi yang dibutuhkan dan juga dana budget yang dibutuhkan sebelum berangkat sampai dengan kembali ke Seoul (kota tempat tinggal saya selama di Korea Selatan).
Bergaya di salah satu lukisan 3D di Trick Art Museum
Rencana awal kami mulai sekitar bulan Mei 2015 yang lalu. Pada waktu itu saya dan teman-teman saya mulai mencari lokasi-lokasi tempat wisata favorit di pulau Jeju yang akhirnya kita malah menemukan terlalu banyak tempat wisata yang bagus dan membuat bingung kami. Setelah itu kami mencari tiket pesawat yang murah untuk perjalanan pulang pergi dari Seoul – Pulau Jeju dan sebaliknya. Lumayan susah untuk mencari tiket yang sangat murah karena harganya yang sering berubah-ubah dan akhirnya kami menunggu pembelian tiket pesawat sebulan sebelum rencana keberangkatan. Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah mencari tempat menginap selama disana yang tentu saja haruslah berharga mahasiswa karena dana yang terbatas namun tetap enak untuk ditinggali. Setelah hampir sebulan survey sana sini mengenai ketiga hal tersebut akhirnya pada akhir Juni kami dapat memutuskan semua keperluan yang dibutuhkan dengan budget mahasiswa. Keterangan lebih detail mengenai rencana tersebut adalah sebagai berikut. Kami akhirnya mendapatkan tiket pesawat yang murah promo melalui online shopping Korea Selatan sebesar 70.000 won atau sekitar Rp. 800.000 untuk pulang pergi pada hari kerja, tempat tinggal guesthouse khusus untuk orang asing sehingga berbahasa inggris dengan besar 19.000 won atau Rp. 250.000 per malam, dan travel tour untuk sehari penuh sebesar 79.000 won atau Rp. 900.000 untuk tujuh tempat wisata favorit di pulau Jeju. Karena kami berkunjung di pulau Jeju hanya dalam waktu dua hari disebabkan keterbatasan waktu kami, maka total biaya yang dikeluarkan dari awal berangkat sampai dengan pulang kembali ke kota Seoul (termasuk makan untuk 2 hari selama disana) adalah sekitar 200.000 ~ 250.000 won atau sekitar Rp. 2.800.000.
Setelah perencanaan yang matang diselesaikan akhirnya kami jadi berangkat pada tanggal 21 Juli 2015 dan kembali ke Seoul pada tanggal 22 Juli 2015. Dapat dikatakan perjalanan kami sangatlah kilat karena biasanya turis yang berkunjung ke pulau Jeju membutuhkan waktu 4 sampai 5 hari untuk memuaskan diri berkunjung ke seluruh tempat-tempat wisata disana. Namun ternyata, dengan waktu dua hari tersebut, sudah lebih dari puas karena rencana kami yang matang dan kesigapan kami dalam melihat jadwal transportasi disana serta ketepatan waktu dalam mengunjungi dari satu tempat ke tempat lain. Dalam hari saja kita dapat berkunjung ke sekitar 11 tempat wisata favorit di pulau Jeju walaupun dengan tubuh yang capek.
Perjalanan dimulai pada tanggal 21 Juli 2015. Sebelumnya, saya bersama empat teman saya yang berasal dari Indonesia, Vietnam, Ghana, dan Uzbekistan sudah pergi ke bandara pada waktu hampir tengah malam hari sebelumnya waktu Seoul dengan menggunakan kereta bawah tanah selama kurang lebih satu jam perjalanan. Kejadian lucu dan menantang mulai berawal disini. Kami berpikir bahwa bandara akan selalu buka 24 jam berdasarkan pengalaman di beberapa bandara yang pernah kami singgahi. Namun ternyata bandara yang bernama Gimpo International Airport ini hanya beroperasi sampai dengan pukul 11 malam waktu setempat sehingga ketika kami sampai di lobi bandara, ruangan sudah sangat gelap yang membuat kita kebingungan. Kami awalnya memang berencana untuk tidur di bandara jadi kita mulai mencari tempat duduk yang enak. Ketika kami sedang asyik mencari tempat duduk, ada petugas bandara yang menegur dan ternyata malah mengusir kita keluar dari bandara. Akhirnya dengan kebingungan kami keluar bandara dan mulai mencari tempat mangkal yang enak sampai bandara buka pada pagi harinya. Untungnya, bandara ini tidak jauh dari permukiman penduduk yang akhirnya kita mangkal di salah satu restoran cepat saji sambil bersenda gurau sampai bosan. Setelah bosan kita pindah ke tempat karaoke yang selalu marak di Korea Selatan. Ternyata setelah menghabiskan waktu di kedua tempat tadi, waktu buka bandara masih cukup lama akhirnya kami kembali ke area taman bandara dan malah tiduran di rerumputan depan bandara tanpa tahu malu. Ternyata teman-teman saya yang berasal dari negara lain tidak berbeda dengan perilaku umum masyarakat Indonesia yang meng-gembel di tempat manapun yang ada. Setelah satu jam istirahat di rerumputan, dengan terpaksa kami berpindah lagi ke depan lobi bandara karena hujan mulai turun. Bagian ini merupakan bagian yang tak terlupakan sebelum berangkat ke pulau Jeju karena kami seperti melakukan warming-up terlebih dahulu atau bisa dibilang capek duluan sebelum berangkat. Akhirnya setelah menunggu satu jam kemudian, bandarapun mulai buka dan kami check-in, kemudian kami berangkat dengan pesawat pertama pada pukul 6.30 waktu setempat.
Setelah perjalanan dilalui selama 45 menit, akhirnya kami tiba di bandara Jeju International Airport. Kesan pertama keluar dari bandara ini adalah suasana tropis seperti di Indonesia karena banyaknya pohon palem tumbuh di depan bandara. Setelah makan pagi di bandara (lagi-lagi di restoran cepat saji namun dengan brand yang berbeda), kami dijemput travel tour khusus orang asing dan perjalanan hari pertamapun dimulai. Sebenarnya ada tiga courses (east, west, south course) yang disediakan oleh pihak tur, dan kami memilih East Course karena banyak tempat wisata menarik ada disana.
Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah Trick Art Museum yang merupakan museum dimana kita dapat berfoto dengan lukisan 3 dimensi yang seakan-akan lukisan tersebut hidup dan kita masuk ke dalam dunia lukisan tersebut. Banyak sekali lukisan 3 dimensi disana yang menarik perhatian dengan hasil foto yang sangat lucu dan indah. Kemudian perjalanan kita berlanjut ke Seongeup Folk Village yang merupakan desa dengan rumah tradisional khas pulau Jeju. Disana kami disambut oleh salah satu penduduk asli penerus bersama istrinya di pulau Jeju. Beliau menjelaskan berbagai macam hal terutama tentang sejarah dan kehidupan sehari-hari di pulau Jeju yang sebagian besar merupakan penyelam pencari makan di laut. Hal yang unik terjadi disini. Selama beliau yang merupakan bapak dengan umur yang cukup tua, beliau selalu menyelipkan kata-kata berbahasa Indonesia seperti harimau, matahari, capek, pengemis selama memberi penjelasan yang membuat saya kaget. Saya mengira karena si bapak menghormati para turis yang datang termasuk saya. Namun sebelum kita pergi ke lokali wisata berikutnya, si bapak menghampiri saya dan berkata dalam bahasa Indonesia, “Dari Jakarta atau Bandung ?”, sayapun kaget dan langsung bilang bahwa saya berasal dari Bandung (sebenarnya karena saya pernah tinggal di Bandung selama 4 tahun). Usut punya usut ternyata si bapak pernah tinggal di Indonesia selama 3 tahun sebagai manajer di salah satu perusahaan sepatu luar negeri yang ada di Indonesia. Akhirnya si bapak mengajak kami berlima berfoto bersama yang tidak dialami oleh para turis asing yang lain, eksklusif hanya kami berlima. Perjalanan selanjutnya adalah makan siang di restoran tradisional pulau Jeju dengan makanan khasnya daging babi hitam panggang. Karena saya dan teman saya dari Uzbekistan beragama muslim, dan teman saya dari Ghana tidak suka babi, kami bertiga akhirnya makan bibimbap yang merupakan paduan nasi dengan berbagai macam sayur dengan saos merah sebagai pelengkap. Setelah makan kami sempat berkunjung ke area desa tradisional yang cukup luas yang lucunya walaupun rumahnya sederhana namun isi rumahnya sangat modern dengan pemancar TV kabel di atap rumah.
Berfoto di samping World 7 Wonders of Nature dari Korea Selatan, Gunung Ilchulbong
Petualangan kami berlanjut ke satu tempat yang baru saja menjadi World 7 Wonders of Nature beberapa tahun yang lalu yaitu bekas gunung aktif yang berada di tepi laut timut pulau Jeju yang terkenal dengan nama gunung Ilchulbong atau Sunrise Peak dalam bahasa inggris. Gunung ini sangat fenomenal karena bentuk dan lokasinya yang unik. Sebelum mendaki ke gunung ini kami menikmati pertunjukan women diver yang merupakan pekerjaan asli penduduk perempuan di pulau Jeju untuk mencari makanan laut dilengkapi dengan nyanyian. Hebatnya para perempuan tersebut adalah nenek-nenek paruh baya. Setelah puas menonton, kami melanjutkan perjalanan ke puncak gunung Ilchulbong. Kami hanya diberi waktu oleh tour guide kami selama satu jam untuk naik dan turun dari puncak akhirnya kita bergegas setengah berlari untuk mulai mendaki. Dengan ngos-ngosan dan habis satu botol air minum akhirnya kami sampai di puncak yang merupakan sebuah cekungan. Capek namun sangat puas dengan pemandangan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, itu yang kami rasakan waktu itu. Kami tiba di tempat parkir bus tepat waktu sebelum berangkat masih sambil bermandikan keringat.
Gunung Ilchulbong tampak dari depan
Selama perjalanan ke tempat berikutnya, capek sedikit demi sedikit hilang karena mata kami dimanjakan dengan pemandangan Jongdalri Shore Road yang merupakan jalan di tepi laut yang menebarkan pemandangan indah pulau Jeju dengan laut biru mudanya. Warna laut di pulau Jeju mirip sekali dengan laut-laut di daerah tropis, tidak mirip sama sekali dengan warna laut yang gelap di daerah Korea Selatan daratan. Setelah menempuh perjalanan hampir setengah jam, kami sampai di lokasi wisata terakhir untuk hari pertama yaitu salah satu World Heritage UNESCO yang wajib dikunjungi di pulau Jeju yaitu Manjang Cave. Gua ini bukan gua pada umumnya karena gua ini merupakan jalur pelarian lava ketika gunung Halla meletus dan merupakan lubang lava terpanjang di Asia. Kami membutuhkan waktu satu jam pulang pergi untuk menyusuri lubang lava ini. Perjalanan hari pertama di pulau Jeju berakhir sudah dan akhirnya kami kembali ke kota Jeju yang terletak di bagian utara pulau Jeju untuk istirahat. Setelah istirahat beberapa jam, pada malam harinya kami menyusuri kota Jeju yang ternyata kota ini tidak jauh berbeda dengan kota Seoul dari keramaian dan tata kotanya namun dengan ukuran yang lebih kecil. Setelah makan malam dan capek berkeliling kota dengan jalan kaki akhirnya kami pulang dan tidur lebih cepat untuk petualangan hari berikutnya tanpa bantuan tour guide alias perjalanan mandiri.
Di depan pintu masuk rumah tradisional pulau Jeju
Pagi hari esoknya, kami melanjutkan perjalanan secara mandiri untuk menghemat biaya wisata dengan naik bus kota. Untungnya, pihak pemerintah pulau Jeju sudah memberikan kemudahan kepada turis asing dengan memberikan peta jalur dengan nomor busnya yang sangat terstruktur sehingga kami tidak perlu tersasar (walaupun akhirnya kesasar juga karena ada beberapa jalur dipeta tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya). Perjalanan pagi ini kami mulai dengan pergi salah satu pantai terkenal di pulau Jeju bagian utara yaitu Hamdeok Beach. Dengan pasir putih dan air laut yang berwarna hijau muda beningnya kami memanjakan diri dengan bermain air dan berfoto ria disana sambil menikmati semilirnya angin di pagi hari berkabut.
Nikmatnya mengosongkan pikiran di pantai pasir putih Hamdeok yang jernih
Setelah puas disana kami melanjutkan perjalanan menaiki bus dengan nomor yang sama dan berpindah bus di satu titik untuk menuju pulau Jeju tengah. Kami sempat menyeberang jalan berkali-kali karena arah perjalanan kita salah dan untungnya saya dapat membaca tulisan Hangul alias aksara Korea dan dapat menemukan jalur yang benar. Perjalanan selanjutnya adalah menuju sebuah kawah tanpa lava yang terkenal dengan pemandangan hijaunya yang menawan, Sangumburi Crater. Yang unik dari tempat ini adalah lokasi kawahnya yang tidak berada di atas gunung namun berada hampir datar dengan tanah sekitarnya namun terdapat cekungan bulat besar ditengah. Lokasinya yang berada di tengah lahan hijau yang luas membuat pemandangan seperti berada di daerah padang savana Selandia Baru yang luas. Disini juga dapat dilihat sisa-sisa letusan yang sudah berbentuk batu keras. Jika beruntung, gunung Halla dapat terlihat jelas pada saat cuaca cerah karena letaknya yang tidak terlalu jauh dari kawah ini. Sebenarnya masih ada beberapa tempat yang ingin kami kunjungi, namun karena keterbatasan waktu dan harus kembali ke Seoul pada malam harinya, kami memutuskan untuk mengunjungi dua buah tempat wisata yang saling berdekatan. Terlebih dahulu kami harus kembali ke halte awal karena lokasi yang akan kami kunjungi berlawanan arah dengan lokasi sebelumnya. Setelah berpindah bus kami mengelilingi kota Jeju yang penuh dengan tempat belanja terkenal seperti di pusat kota Seoul. Kami cukup kaget karena kota Jeju lebih besar dari apa yang kami perkirakan. Ternyata bus yang kami tumpangi tidak berhenti di tempat yang kami tuju. Dengan sedikit panik kami sempat berpikir untuk langsung ke bandara atau melanjutkan ke tempat wisata selanjutnya. Karena keinginan kami yang kuat, jalan alternatif selalu terbuka. Dengan bantuan satu bapak Korea yang sangat baik akhirnya kami menemukan bus alternatif menuju lokasi wisata walau harus dengan berbagai macam bahasa (dari bahasa inggris, korea, sampai dengan bahasa isyarat). Kami akhirnya lega bisa sampai ke lokasi terakhir yang ingin kami kunjungi. Pertama kami berkunjung ke Mysterious Road. Jalan ini sangat terkenal di pulau Jeju dan merupakan tempat wajib untuk dikunjungi. Jalan ini memiliki keanehan karena adanya hukum yang melawan grativasi yaitu pada posisi tertentu ketika jalan terlihat menanjak naik maka air akan naik keatas atau mobil yang dimatikan mesinnya akan bergerak keatas dengan sendirinya (yang harusnya bergerak ke bawah). Menurut beberapa orang di jalan ini orang akan melihat tipuan optik dimana jalan terlihat naik padahal sebenarnya turun. Di jalan ini sempat terjadi perdebatan antara saya dengan beberapa teman saya tentang keanehan jalan ini. Tempat lokasi wisata terakhir tidak jauh dari lokasi jalan ini adalah Love Land Museum. Taman cinta ini mungkin tidak seperti yang dibayangkan karena taman ini berisi patung-patung yang (maaf) beradegan vulgar sehingga museum hanya diperuntukkan untuk pengunjung dewasa. Kami sempat tertawa terbahak-bahak melihat isi dari museum ini, jarang-jarang bisa melihat beginian gratis.
Pemandangan hijau yang indah di sekitar Sangumburi Crater
Hari semakin sore sehingga kami memutuskan untuk langsung kembali ke bandara dan menyempatkan diri makan di restoran tradisional korea sebelum terbang kembali ke Seoul. Akhirnya pada pukul 10 malam waktu Seoul kami tiba di bandara Gimpo International Airport dan melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kereta bawah tanah sampai tiba di tempat tinggal kami. Ternyata perjalanan dua hari ini merupakan salah satu perjalanan wisata yang sangat sukses walaupun sedikit menemui hambatan. Namun karena kami selalu menghadapinya dengan senyuman, maka hasil yang didapatkan lebih dari apa yang kami harapkan. Perjalanan ini akhirnya ditutup dengan sharing foto-foto dan upload-an di media sosial yang membuat teman-teman yang lain penasaran untuk segera berkunjung ke pulau Jeju. Finally, Jeju Island was done.
Tautan yang bermanfaat :
The Impending Paper about Energy Efficient on Multiple Wi-Fi Radios has finally been accepted on Journal of IEEE Transactions on Mobile Computing 2016
Finally, after waiting for more than a year, the extended version of my master degree’s thesis titled “E-MICE : Energy-Efficient Concurrent Exploitation of Multiple Wi-Fi Radios” has been accepted as one of the next issues on Journal of Transactions on Mobile Computing 2016 (IF : 2.456) published by IEEE. This work was the collaboration work with my former supervisor, Prof. Ji-Hoon Yun at Seoul National University of Science and Technology, Seoul, Korea. This is my 3rd Journal and 1st International Journal I have ever finished. Please look forward for the article for several months ahead.
FYI, IEEE Transactions on Mobile Computing focuses on the key technical issues related to (a) architectures, (b) support services, (c) algorithm/protocol design and analysis, (d) mobile environments, (e) mobile communication systems, (f) applications, and (g) emerging technologies. Topics of interest include, but are not limited to, the following: a) Architectures – Mobile networks and hosts, Agents and proxies, Mobility management, mobile agent and proxy architectures, Integrated wireline and wireless systems, Planning and standardization. b) Support Services – Mobility and roaming, Nomadic computing, Multimedia, Operating system support, Power management. c) Algorithm/Protocol Design and Analysis – Online and mobile environments, Limited bandwidth, Intermittent connectivity. d) Mobile Environments – Data and knowledge management, Performance modeling and characterization, Security, scalability and reliability, Design, management and operation, Systems and technologies. e) Mobile Communication Systems – Wireless cellular and spread-spectrum systems, Multi-user and multi-access techniques and algorithms, Multi-channel processing, Channel coding, Data coding and compression. f) Applications – Location-dependent and sensitive, Nomadic computing, Wearable computers and body area networks, Multimedia applications and multimedia signal processing, Pervasive computing, Wireless sensor networks. g) Emerging Technologies.
For more information about this journal, please check this website.
[Updated] Another Paper About Dual-Radio Aggregation System has been accepted on ICITEE 2016
[Updated] This paper has been presented on Oct 5th 2016 in Communication Technology section in East Parc Hotel, Yogyakarta. For more information about the program please check ICITEE 2016 Program.
—————————————————————————————————————————————–
Performance Analysis on Gain Prediction of Dual-Radio Aggregation System in Heterogeneous Network paper has been accepted on 8th International Conference on Information Technology and Electrical Engineering (ICITEE) 2016 held by Universitas Gadjah Mada. Hopefully, it will be presented and published on October 2016.
Registration Form for TOEFL ITP Training with Native Speaker 2016 in Dept. of TEDI SV UGM
Form Pendaftaran Pelatihan TOEFL ITP oleh Native Speaker di TEDI SV UGM 2016 (GRATIS).
Akan dilaksanakan mulai tanggal 29 Agustus 2016 pukul 11.00 – 12.30 WIB untuk setiap pertemuan. Meliputi pelatihan LISTENING, READING, and STRUCTURE (total 3 kali pertemuan untuk setiap kelas). Hanya terdiri dari 2 kelas DTE dan 1 kelas DTJ (40 orang untuk satu kelas). Diutamakan untuk mahasiswa semester 5 keatas.
[Algorithm World] RSA Algorithm for Data Encryption and Decryption
Source : techtarget
RSA is a cryptosystem for public-key encryption, and is widely used for securing sensitive data, particularly when being sent over an insecure network such as the Internet.
RSA was first described in 1977 by Ron Rivest, Adi Shamir and Leonard Adleman of the Massachusetts Institute of Technology. Public-key cryptography, also known as asymmetric cryptography, uses two different but mathematically linked keys, one public and one private. The public key can be shared with everyone, whereas the private key must be kept secret. In RSA cryptography, both the public and the private keys can encrypt a message; the opposite key from the one used to encrypt a message is used to decrypt it. This attribute is one reason why RSA has become the most widely used asymmetric algorithm: It provides a method of assuring the confidentiality, integrity, authenticity and non-reputability of electronic communications and data storage.
Many protocols like SSH, OpenPGP, S/MIME, and SSL/TLS rely on RSA for encryption and digital signature functions. It is also used in software programs — browsers are an obvious example, which need to establish a secure connection over an insecure network like the Internet or validate a digital signature. RSA signature verification is one of the most commonly performed operations in IT.
Explaining RSA’s popularity
RSA derives its security from the difficulty of factoring large integers that are the product of two large prime numbers. Multiplying these two numbers is easy, but determining the original prime numbers from the total — factoring — is considered infeasible due to the time it would take even using today’s super computers.
The public and the private key-generation algorithm is the most complex part of RSA cryptography. Two large prime numbers, p and q, are generated using the Rabin-Miller primality test algorithm. A modulus n is calculated by multiplying p and q. This number is used by both the public and private keys and provides the link between them. Its length, usually expressed in bits, is called the key length. The public key consists of the modulus n, and a public exponent, e, which is normally set at 65537, as it’s a prime number that is not too large. The e figure doesn’t have to be a secretly selected prime number as the public key is shared with everyone. The private key consists of the modulus n and the private exponent d, which is calculated using the Extended Euclidean algorithm to find the multiplicative inverse with respect to the totient of n.
A simple, worked example
Alice generates her RSA keys by selecting two primes: p=11 and q=13. The modulus n=p×q=143. The totient of n ϕ(n)=(p−1)x(q−1)=120. She chooses 7 for her RSA public key e and calculates her RSA private key using the Extended Euclidean Algorithm which gives her 103.
Bob wants to send Alice an encrypted message M so he obtains her RSA public key (n,e) which in this example is (143, 7). His plaintext message is just the number 9 and is encrypted into ciphertext C as follows:
Me mod n = 97 mod 143 = 48 = C
When Alice receives Bob’s message she decrypts it by using her RSA private key (d, n) as follows:
Cd mod n = 48103 mod 143 = 9 = M
To use RSA keys to digitally sign a message, Alice would create a hash or message digest of her message to Bob, encrypt the hash value with her RSA private key and add it to the message. Bob can then verify that the message has been sent by Alice and has not been altered by decrypting the hash value with her public key. If this value matches the hash of the original message, then only Alice could have sent it (authentication and non-repudiation) and the message is exactly as she wrote it (integrity). Alice could, of course, encrypt her message with Bob’s RSA public key (confidentiality) before sending it to Bob. A digital certificate contains information that identifies the certificate’s owner and also contains the owner’s public key. Certificates are signed by the certificate authority that issues them, and can simplify the process of obtaining public keys and verifying the owner.
Security of RSA
As discussed, the security of RSA relies on the computational difficulty of factoring large integers. As computing power increases and more efficient factoring algorithms are discovered, the ability to factor larger and larger numbers also increases. Encryption strength is directly tied to key size, and doubling key length delivers an exponential increase in strength, although it does impair performance. RSA keys are typically 1024- or 2048-bits long, but experts believe that 1024-bit keys could be broken in the near future, which is why government and industry are moving to a minimum key length of 2048-bits. Barring an unforeseen breakthrough in quantum computing, it should be many years before longer keys are required, but elliptic curve cryptography is gaining favor with many security experts as an alternative to RSA for implementing public-key cryptography. It can create faster, smaller and more efficient cryptographic keys. Much of today’s hardware and software is ECC-ready and its popularity is likely to grow as it can deliver equivalent security with lower computing power and battery resource usage, making it more suitable for mobile apps than RSA. Finally, a team of researchers which included Adi Shamir, a co-inventor of RSA, has successfully determined a 4096-bit RSA key using acoustic cryptanalysis, however any encryption algorithm is vulnerable to this type of attack.
[Travelling Notes] Enjoying Seoul From Inwangsan Peak (Indonesian version)
*Seperti yang telah diceritakan secara singkat di POST ini.
Berkunjung di Seoul tidak afdol jika belum merasakan sensasi naik gunung berbatu yang bertebaran di kota tak kenal lelah setiap harinya ini. Kota Seoul memang memiliki dataran yang beraneka ragam mulai yang datar di pusat kota sampai dengan bukit-bukit dan pegunungan yang mengisi di pinggir maupun di tengahnya. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi saya yang pernah tinggal di kota ini selama tiga tahun. Kota Seoul memiliki sebuah Taman Nasional yang merupakan gugusan gunung Bukhansan yang terletak di sebelah utara istana di pusat kota Seoul. Gunung ini sudah sangat terkenal sejak Korea Selatan masih merupakan jaman kerajaan yang sering muncul sebagai lukisan seniman Korea.
Salah satu bagian dari gugusan gunung ini adalah gunung Inwangsan. Gunung ini terletak tepat di sebelah kiri istana terbesar di Korea Selatan yang bernama Gyeongbokgung di pusat kota Seoul. Dapat dikatakan gunung ini merupakan pelindung bisu istana tersebut. Inwangsan memiliki ketinggian sekitar 338 meter di atas permukaan laut. Tentu ketinggian ini sangat tidak seberapa jika dibandingkan dengan gunung-gunung di Indonesia yang bisa mencapai ribuan meter diatas permukaan laut. Namun gunung ini memiliki keistimewaan tersendiri karena dari gunung ini kita bisa melihat pusat kota Seoul yang dikelilingi oleh gedung-gedung pencakar langit dengan Seoul Tower, istana Gyeongbokgung dan juga istana pemerintahan presiden Korea Selatan sebagai pelengkapnya. Tidak hanya itu, gunung ini merupakan salah satu tempat bersejarah dimana bagian dari Seoul Fortress atau Benteng Seoul berada disini yang mengelilingi dan membatasi lokasi istana-istana kerajaan yang ada di Seoul.
Mendaki gunung di Seoul sangat menarik jika dilakukan pada dua musim yang paling bagus di Korea Selatan yaitu pada musim semi atau musim gugur. Pada kedua musim ini kita dapat melihat keindahan ketika bunga-bunga mulai bermuculan dan juga ketika daun-daun mulai menampakkan warna yang beraneka ragam. Selain itu juga karena temperatur udara yang tidak panas dan tidak dingin sehingga kedua musim tersebut merupakan masa yang paling cocok untuk mendaki gunung khususnya gunung Inwangsan ini. Gunung Inwangsan ini bukan merupakan gunung pertama yang saya daki namun sebelumnya saya sudah beberapa kali naik gunung mulai dari gunung Daedunsan di tengah-tengah negara Korea Selatan yang sangat terkenal dengan warna-warni dedaunan di musim gugur, gunung Buramsan yang berada persis di belakang kampus saya ketika berkuliah di Korea Selatan, dan beberapa gunung lainnya. Gunung Inwangsan ini baru saya daki pada awal musim gugur tahun 2014 yang lalu. Cukup dengan memakai pakaian dan sepatu olahraga serta tas kecil berisi bekal minum dan cemilan, saya berangkat dari tempat tinggal saya di utara Seoul pada pagi hari dengan menggunakan subway yang berada tidak jauh dari tempat tinggal saya. Berwisata di Seoul sangatlah nyaman karena setiap tempat terhubung langsung dengan stasiun-stasiun subway salah satunya jalan menuju gunung Inwangsan ini. Untuk mencapai gunung ini kita dapat menggunakan subway Line 3 yang berwarna jingga dan turun di stasiun Dongnimun exit 2. Setelah keluar dari pintu keluar jalan ke depan sampai menemui sebuah jalan kecil di samping kiri, kita cukup dengan berbelok dan mengikuti papan arah menuju gunung tersebut. Sebenarnya ada tiga buah jalur yang bisa dilewati untuk menuju gunung tersebut namun jalur ini merupakan jalur yang paling gampang dan banyak tempat wisata yang bisa dijadikan bahan foto khususnya untuk para turis yang tidak begitu mengenal kota Seoul secara detail.
Seonbawi Rock yang berbentuk dua orang biksu di dekat Inwangsa Temple
Setelah berbelok ke sebuah jalan kecil di dekat pintu keluar stasiun Dongnimun, jalan mendakipun mulai tampak namun masih dengan jalan aspal yang sangat bagus dikelilingi beberapa apartemen khas Korea. Lima belas menit menyusuri jalan mendaki tersebut akhirnya saya menemukan sebuah temple untuk umat Budha di Seoul yang bernama Inwangsa di Guksadang. Seperti kebanyakan temple-temple yang ada di Korea Selatan, tempat ini memiliki sebuah gerbang dengan tiang berwarna merah dan atap berwarna hitam kecoklatan serta bentuk bangunan terbuat dari kayu dengan atap yang mirip dengan atap istana-istana di Korea. Ternyata posisi gerbang sangatlah unik karena untuk mencapai gerbang kita harus mendaki dengan sudut lebih dari 45 derajat alias lumayan sangat curam. Walaupun hanya beberapa meter, jalan menuju gerbang cukup membuat saya terengah-engah. Setelah mencapai gerbang, jalan menuju bangunan utana lumayan sempit dan lebih landai dibandingkan jalan sebelumnya. Karena saya sampai di tempat tersebut sekitar pukul 8 pagi, tempat tersebut masih sangat sepi hanya terdengar beberapa biksu yangs sedang berdoa di dalam temple utama.
Sebenarnya fokus utama saya menuju tempat tersebut adalah bukan temple nya namun sebuah bebatuan unik dan sakral yang terletak tidal jauh dari bangunan tersebut. Bebatuan yang unik tersebut bernama Seonbawi Rock. Bebatuan ini terdiri dari dua buah batu yang unik yang memiliki bentuk mirip dengan dua orang biksu sehingga dinamakan nama tersebut. Bebatuan ini sering digunakan untuk umat Budha berdoa dan juga khususnya para wanita yang sedang hamil untuk meminta anak laki-laki. Ketika saya sampai disana, tidak ada satu orangpun berada disana, hanya saya seorang, bau dupa khas temple, dan puluhan burung merpati bertengger di puncak bebatuan yang menemani saya sehingga saya dengan bebas membidik foto sebanyak-banyaknya disana.
Setelah puas menikmati keindahan bebatuan tersebut, saya melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung. Selama melewati jalur yang mendaki yang lumayan susah karena hanya berupa bebatuan dan tanah, saya tidak bertemu dengan seorangpun sehingga dapat dikatakan saya cukup berdebar-debar mendaki sendirian namun semakin semangat untuk mencapai puncak gunung. Setelah hampir setengah jam, akhirnya saya melihat sekilas dua orang tua yang kemungkinan besar suami istri yang sedang isitirahat di dekat bebatuan besar yang lain. Saya mengira saya sudah sampai di puncak namun saya curiga karena merasa terlalu cepat mencapai puncak. Ternyata tempat tersebut masih setengah perjalanan menuju puncak gunung Inwangsan. Dari tempat tersebut pusat kota Seoul dengan bangunan pencakar langitnya mulai terlihat. Setelah pas berfoto, akhirnya saya melanjutkan perjalanan dan untuk pertama kalinya saya menemukan bangunan bersejarah Seoul Fortress. Mulai dari sini saya bertemu dengan banyak pendaki yang juga ingin mencapai puncak gunung. Setelah saya amati ternyata jalur yang saya lalui tidak begitu populer untuk para pendaki orang Korea. Namun jalur yang saya lalui sangat cocok digunakan untuk para turis yang ingin mendapatkan pemandangan yang unik. Mulai dari posisi ini, di sepanjang perjalanan jalan mendaki yang saya lalui selalu ditemani oleh benteng sampai mencapai puncak gunung.
Papan pengumuman larangan mengambil foto ke arah istana presiden Korea
Selama menyusuri jalan mendaki dengan pemandangan benteng di samping saya, saya menemukan beberapa bangunan kecil seperti pos pemantauan. Saya mengira pos ini khusus untuk para pendaki yang ingin melihat pemadangan di sekitar gunung namun setelah saya amati di dalam pos tersebut terdapat seorang tentara lengkap dengan helm dan senjatanya. Dari sini saya sadar bahwa pos ini ternyata digunakan untuk melindungi istana presiden Korea Selatan dari gangguan-gangguan yang tidak diinginkan. Hampir di sepanjang perjalanan, saya menemui pos ini untuk setiap 100 meter. Ternyata ada juga pantangan bagi para pendaki yang ingin mengambil foto ke arah kota Seoul. Dari papan pengumuman dituliskan bahwa kita boleh mengambil foto ke semua arah kecuali ke arah istana presiden yang terletak tidak jauh dari posisi pos pemantau ini. Tujuan utamanya jelas untuk menghindari adanya mata-mata yang ingin berbuat sesuatu terhadap istana presiden tersebut. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam, akhirnya saya sampai di puncak dimana disana sudah banyak para pendaki mulai dari anak kecil sampai orang lanjut usia sedang beristirahat disana. Dari pengalaman saya mendaki gunung di Korea, puncak gunung selalu ditandai dengan adanya sebuah batu besar hitam dengan tulisan ketinggian gunung tersebut dan juga sebuah bendera Korea Selatan.
Pemandangan benteng Seoul dan jalan menuju puncak gunung Inwangsan
Setelah beristirahat cukup, saya melanjutkan perjalanan untuk turun dari gunung namun kali ini saya menempuh jalur yang berbeda dengan yang sebelumnya untuk bisa mendapatkan pemandangan yang berbeda pula. Ketika turun memakai jalur turun ini, saya juga bertemu dengan banyak orang yang ingin mencapai puncak bahkan ada sebuah grup yang terdiri dari bapak-bapak dan ibu-ibu dengan pakaian khas mendaki di Korea yang sibuk melakukan foto dengan hebohnya. Ternyata kekinian tidak hanya dilakukan oleh anak muda Korea namun bapak ibu sekalipun tidak jauh berbeda. Jika sebelumnya sepanjang perjalanan saya menemui benteng yang sudah direnovasi dan bersifat modern, melalui jalur turun ini saya menemukan benteng Seoul dengan wujud aslinya yaitu berupa tumpukan bebatuan tanpa ada balutan semen modern. Hal ini menjadi saya tarik tersendiri bagi para pendaki yang ingin merasakan bagaimana wujud Korea pada jaman kerajaan dahulu. Perjalanan turun ini lebih cepat dari pendakian sebelumnya dan perjalanan saya ini semakin dekat dengan bukit persis di belakang istana presiden Korea yang juga merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Bukhansan.
Benteng Seoul peninggalan kerajaan Korea pada masa dinasti Joseon di Inwangsan
Akhirnya, saya sampai di akhir jalan turun dari jalur menuju puncak gunung Inwangsan dan menemukan sebuah taman yang sangat asri dikelilingi rumah-rumah berbentuk villa. Ternyata benteng Seoul masih berlanjut disini namun dengan tinggi yang lebih rendah jika dilihat dari posisi dalam bentengnya. Disinilah saya menemukan tanpa sengaja sebuah pohon yang sepertinya pernah saya liat di sebuah drama Korea. Setelah saya ingat-ingat ternyata pohon ini pernah dijadikan sebagai tempat syuting drama Fated to Love You yang pernah tayang di televisi nasional MBC Korea pada tahun 2014 yang lalu. Pohon ini dijadikan lokasi untuk mengubur kenangan masa lalu dan ternyata taman asri yang saya temui sebelumnya juga digunakan untuk syuting adegan pernikahan antara Jang Hyuk dan Jang Nara.
Pohon yang pernah menjadi lokasi syuting drama Korea Fated to Love You
Karena sudah kebelet untuk buang air kecil akhirnya saya berusaha mencari jalan pulang dengan mengikuti para orang tua yang juga ramai pulang setelah mendaki gunung. Setelah keluar taman, saya menemukan tempat pemberhentian bus menuju stasiun subway di dekat istana Gyeongbokgung. Sepanjang perjalanan menuju stasiun, saya dapat melihat area belakang dan samping istana presiden Korea yang asri dan dijaga ketat oleh polisi keamanan Korea karena jalan besar yang dilalui bus berada tepat di samping pagar pembatas istana presiden. Okay, finally another mountain in Korea was done.
Tautan yang bermanfaat :
[Collaboration Book 2016] Wonderful Travelling Experiences in South Korea
In the late 2015, one of UGM Korean Language and Studies program’ lecturer gave me an opportunity to write my experiences conquering many wonderful places in South Korea along with some Indonesian people living there. As a result, an amazing collaboration book in Bahasa Indonesia was created. This book were presented by International Association of Korean Studies in Indonesia, Korean Studies Center of Universitas Gadjah Mada, and Indonesia Open University in South Korea.
In this book, I had contributed to share 3 stories about some amazing places to visit and enjoy in some parts of South Korea including :
- MENIKMATI SEOUL DARI PUNCAK INWANGSAN <인왕산에서 본 서울> (Page 39)
- PULAU JEJU: SEBUAH KEAJAIBAN ALAM DUNIA DI KOREA <제주도: 경이로운 자연경관> (Page 144)
- SENSASI SERU DI DEMILITARIZED ZONE (DMZ) <비무장 지대의 흥미짂짂함> (Page 168)
Check it out the detail contents of our experiences below.
[Wireless Network] A Brief Introduction to LTE-U (LTE Advanced in Unlicensed Spectrum)
Spectrum is life-blood of wireless networks. Licensed spectrum is operators’ first choice, as it provides reliability, and predictable performance. Hence the industry is hard at work to make best use of existing spectrum and looking for more licensed spectrum via traditional auctions and innovative paradigms such as authorized/licensed shared access (ASA/LSA). At the same time, to support the insatiable data demand, operators will also have to leverage readily available unlicensed spectrum. Bringing LTE Advanced to unlicensed spectrum is the most efficient option to achieve that.
Bringing LTE Advanced to unlicensed spectrum is really a simple idea with immense benefits. It involves leveraging the large number of small cells that operators are planning to deploy and aggregating unlicensed spectrum with the licensed spectrum for LTE Advanced. The existing core network can be used as is. In essence, the whole system works as a unified LTE network to efficiently leverage both licensed and unlicensed spectrum bands.
LTE Advanced in the unlicensed bands can provide better coverage and capacity than Wi-Fi deployed by network operators (also referred to as Carrier Wi-Fi), while allowing for seamless flow of data between licensed and unlicensed spectrum through a single core network. This means operators can augment the capacity of their networks by utilizing the unlicensed spectrum more efficiently, while also providing the tightest possible interworking between the licensed and unlicensed bands. From the user perspective, this means an enhanced broadband experience—higher data rates, seamless use of both licensed and unlicensed bands, higher reliability, better mobility, and more. LTE Advanced in unlicensed bands is carefully designed to harmoniously co-exist with Wi-Fi. There are many features to avoid and mitigate interference, as well as to share the resources proportionately and fairly, when using the same channel, all-in-all to be a “good-neighbor” to Wi-Fi.
Source : Qualcomm