Home » 2016 » August

Monthly Archives: August 2016

Registration Form for TOEFL ITP Training with Native Speaker 2016 in Dept. of TEDI SV UGM

Form Pendaftaran Pelatihan TOEFL ITP oleh Native Speaker di TEDI SV UGM 2016 (GRATIS).

Akan dilaksanakan mulai tanggal 29 Agustus 2016 pukul 11.00 – 12.30 WIB untuk setiap pertemuan. Meliputi pelatihan LISTENING, READING, and STRUCTURE (total 3 kali pertemuan untuk setiap kelas). Hanya terdiri dari 2 kelas DTE dan 1 kelas DTJ (40 orang untuk satu kelas). Diutamakan untuk mahasiswa semester 5 keatas.

[Algorithm World] RSA Algorithm for Data Encryption and Decryption

Source : techtarget

RSA is a cryptosystem for public-key encryption, and is widely used for securing sensitive data, particularly when being sent over an insecure network such as the Internet.

RSA was first described in 1977 by Ron Rivest, Adi Shamir and Leonard Adleman of the Massachusetts Institute of Technology. Public-key cryptography, also known as asymmetric cryptography, uses two different but mathematically linked keys, one public and one private. The public key can be shared with everyone, whereas the private key must be kept secret. In RSA cryptography, both the public and the private keys can encrypt a message; the opposite key from the one used to encrypt a message is used to decrypt it. This attribute is one reason why RSA has become the most widely used asymmetric algorithm: It provides a method of assuring the confidentiality, integrity, authenticity and non-reputability of electronic communications and data storage.

Many protocols like SSH, OpenPGP, S/MIME, and SSL/TLS rely on RSA for encryption and digital signature functions. It is also used in software programs — browsers are an obvious example, which need to establish a secure connection over an insecure network like the Internet or validate a digital signature. RSA signature verification is one of the most commonly performed operations in IT.

Explaining RSA’s popularity

RSA derives its security from the difficulty of factoring large integers that are the product of two large prime numbers. Multiplying these two numbers is easy, but determining the original prime numbers from the total — factoring — is considered infeasible due to the time it would take even using today’s super computers.

The public and the private key-generation algorithm is the most complex part of RSA cryptography. Two large prime numbers, p and q, are generated using the Rabin-Miller primality test algorithm. A modulus n is calculated by multiplying p and q. This number is used by both the public and private keys and provides the link between them. Its length, usually expressed in bits, is called the key length. The public key consists of the modulus n, and a public exponent, e, which is  normally set at 65537, as it’s a prime number that is not too large. The e figure  doesn’t have to be a secretly selected prime number as the public key is shared with everyone. The private key consists of the modulus n and the private exponent d, which is calculated using the Extended Euclidean algorithm to find the multiplicative inverse with respect to the totient of n.

A simple, worked example

Alice generates her RSA keys by selecting two primes: p=11 and q=13. The modulus n=p×q=143. The totient of n ϕ(n)=(p−1)x(q−1)=120. She chooses 7 for her RSA public key e and calculates her RSA private key using the Extended Euclidean Algorithm which gives her 103.

Bob wants to send Alice an encrypted message M so he obtains her RSA public key (n,e) which in this example is (143, 7). His plaintext message is just the number 9 and is encrypted into ciphertext C as follows:

Me mod n = 97 mod 143 = 48 = C

When Alice receives Bob’s message she decrypts it by using her RSA private key (d, n) as follows:

Cd mod n = 48103 mod 143 = 9 = M

To use RSA keys to digitally sign a message, Alice would create a hash or message digest of her message to Bob, encrypt the hash value with her RSA private key and add it to the message. Bob can then verify that the message has been sent by Alice and has not been altered by decrypting the hash value with her public key. If this value matches the hash of the original message, then only Alice could have sent it (authentication and non-repudiation) and the message is exactly as she wrote it (integrity). Alice could, of course, encrypt her message with Bob’s RSA public key (confidentiality) before sending it to Bob. A digital certificate contains information that identifies the certificate’s owner and also contains the owner’s public key. Certificates are signed by the certificate authority that issues them, and can simplify the process of obtaining public keys and verifying the owner.

Security of RSA

As discussed, the security of RSA relies on the computational difficulty of factoring large integers. As computing power increases and more efficient factoring algorithms are discovered, the ability to factor larger and larger numbers also increases. Encryption strength is directly tied to key size, and doubling key length delivers an exponential increase in strength, although it does impair performance. RSA keys are typically 1024- or 2048-bits long, but experts believe that 1024-bit keys could be broken in the near future, which is why government and industry are moving to a minimum key length of 2048-bits. Barring an unforeseen breakthrough in quantum computing, it should be many years before longer keys are required, but elliptic curve cryptography is gaining favor with many security experts as an alternative to RSA for implementing public-key cryptography. It can create faster, smaller and more efficient cryptographic keys. Much of today’s hardware and software is ECC-ready and its popularity is likely to grow as it can deliver equivalent security with lower computing power and battery resource usage, making it more suitable for mobile apps than RSA. Finally, a team of researchers which included Adi Shamir, a co-inventor of RSA, has successfully determined a 4096-bit RSA key using acoustic cryptanalysis, however any encryption algorithm is vulnerable to this type of attack.

[Travelling Notes] Enjoying Seoul From Inwangsan Peak (Indonesian version)

*Seperti yang telah diceritakan secara singkat di POST ini.

Berkunjung di Seoul tidak afdol jika belum merasakan sensasi naik gunung berbatu yang bertebaran di kota tak kenal lelah setiap harinya ini. Kota Seoul memang memiliki dataran yang beraneka ragam mulai yang datar di pusat kota sampai dengan bukit-bukit dan pegunungan yang mengisi di pinggir maupun di tengahnya. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi saya yang pernah tinggal di kota ini selama tiga tahun. Kota Seoul memiliki sebuah Taman Nasional yang merupakan gugusan gunung Bukhansan yang terletak di sebelah utara istana di pusat kota Seoul. Gunung ini sudah sangat terkenal sejak Korea Selatan masih merupakan jaman kerajaan yang sering muncul sebagai lukisan seniman Korea.

Salah satu bagian dari gugusan gunung ini adalah gunung Inwangsan. Gunung ini terletak tepat di sebelah kiri istana terbesar di Korea Selatan yang bernama Gyeongbokgung di pusat kota Seoul. Dapat dikatakan gunung ini merupakan pelindung bisu istana tersebut. Inwangsan memiliki ketinggian sekitar 338 meter di atas permukaan laut. Tentu ketinggian ini sangat tidak seberapa jika dibandingkan dengan gunung-gunung di Indonesia yang bisa mencapai ribuan meter diatas permukaan laut. Namun gunung ini memiliki keistimewaan tersendiri karena dari gunung ini kita bisa melihat pusat kota Seoul yang dikelilingi oleh gedung-gedung pencakar langit dengan Seoul Tower, istana Gyeongbokgung dan juga istana pemerintahan presiden Korea Selatan sebagai pelengkapnya. Tidak hanya itu, gunung ini merupakan salah satu tempat bersejarah dimana bagian dari Seoul Fortress atau Benteng Seoul berada disini yang mengelilingi dan membatasi lokasi istana-istana kerajaan yang ada di Seoul.

Mendaki gunung di Seoul sangat menarik jika dilakukan pada dua musim yang paling bagus di Korea Selatan yaitu pada musim semi atau musim gugur. Pada kedua musim ini kita dapat melihat keindahan ketika bunga-bunga mulai bermuculan dan juga ketika daun-daun mulai menampakkan warna yang beraneka ragam. Selain itu juga karena temperatur udara yang tidak panas dan tidak dingin sehingga kedua musim tersebut merupakan masa yang paling cocok untuk mendaki gunung khususnya gunung Inwangsan ini. Gunung Inwangsan ini bukan merupakan gunung pertama yang saya daki namun sebelumnya saya sudah beberapa kali naik gunung mulai dari gunung Daedunsan di tengah-tengah negara Korea Selatan yang sangat terkenal dengan warna-warni dedaunan di musim gugur, gunung Buramsan yang berada persis di belakang kampus saya ketika berkuliah di Korea Selatan, dan beberapa gunung lainnya. Gunung Inwangsan ini baru saya daki pada awal musim gugur tahun 2014 yang lalu. Cukup dengan memakai pakaian dan sepatu olahraga serta tas kecil berisi bekal minum dan cemilan, saya berangkat dari tempat tinggal saya di utara Seoul pada pagi hari dengan menggunakan subway yang berada tidak jauh dari tempat tinggal saya. Berwisata di Seoul sangatlah nyaman karena setiap tempat terhubung langsung dengan stasiun-stasiun subway salah satunya jalan menuju gunung Inwangsan ini. Untuk mencapai gunung ini kita dapat menggunakan subway Line 3 yang berwarna jingga dan turun di stasiun Dongnimun exit 2. Setelah keluar dari pintu keluar jalan ke depan sampai menemui sebuah jalan kecil di samping kiri, kita cukup dengan berbelok dan mengikuti papan arah menuju gunung tersebut. Sebenarnya ada tiga buah jalur yang bisa dilewati untuk menuju gunung tersebut namun jalur ini merupakan jalur yang paling gampang dan banyak tempat wisata yang bisa dijadikan bahan foto khususnya untuk para turis yang tidak begitu mengenal kota Seoul secara detail.

a

Seonbawi Rock yang berbentuk dua orang biksu di dekat Inwangsa Temple

Setelah berbelok ke sebuah jalan kecil di dekat pintu keluar stasiun Dongnimun, jalan mendakipun mulai tampak namun masih dengan jalan aspal yang sangat bagus dikelilingi beberapa apartemen khas Korea. Lima belas menit menyusuri jalan mendaki tersebut akhirnya saya menemukan sebuah temple untuk umat Budha di Seoul yang bernama Inwangsa di Guksadang. Seperti kebanyakan temple-temple yang ada di Korea Selatan, tempat ini memiliki sebuah gerbang dengan tiang berwarna merah dan atap berwarna hitam kecoklatan serta bentuk bangunan terbuat dari kayu dengan atap yang mirip dengan atap istana-istana di Korea. Ternyata posisi gerbang sangatlah unik karena untuk mencapai gerbang kita harus mendaki dengan sudut lebih dari 45 derajat alias lumayan sangat curam. Walaupun hanya beberapa meter, jalan menuju gerbang cukup membuat saya terengah-engah. Setelah mencapai gerbang, jalan menuju bangunan utana lumayan sempit dan lebih landai dibandingkan jalan sebelumnya. Karena saya sampai di tempat tersebut sekitar pukul 8 pagi, tempat tersebut masih sangat sepi hanya terdengar beberapa biksu yangs sedang berdoa di dalam temple utama.

Sebenarnya fokus utama saya menuju tempat tersebut adalah bukan temple nya namun sebuah bebatuan unik dan sakral yang terletak tidal jauh dari bangunan tersebut. Bebatuan yang unik tersebut bernama Seonbawi Rock. Bebatuan ini terdiri dari dua buah batu yang unik yang memiliki bentuk mirip dengan dua orang biksu sehingga dinamakan nama tersebut. Bebatuan ini sering digunakan untuk umat Budha berdoa dan juga khususnya para wanita yang sedang hamil untuk meminta anak laki-laki. Ketika saya sampai disana, tidak ada satu orangpun berada disana, hanya saya seorang, bau dupa khas temple, dan puluhan burung merpati bertengger di puncak bebatuan yang menemani saya sehingga saya dengan bebas membidik foto sebanyak-banyaknya disana.

Setelah puas menikmati keindahan bebatuan tersebut, saya melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung. Selama melewati jalur yang mendaki yang lumayan susah karena hanya berupa bebatuan dan tanah, saya tidak bertemu dengan seorangpun sehingga dapat dikatakan saya cukup berdebar-debar mendaki sendirian namun semakin semangat untuk mencapai puncak gunung. Setelah hampir setengah jam, akhirnya saya melihat sekilas dua orang tua yang kemungkinan besar suami istri yang sedang isitirahat di dekat bebatuan besar yang lain. Saya mengira saya sudah sampai di puncak namun saya curiga karena merasa terlalu cepat mencapai puncak. Ternyata tempat tersebut masih setengah perjalanan menuju puncak gunung Inwangsan. Dari tempat tersebut pusat kota Seoul dengan bangunan pencakar langitnya mulai terlihat. Setelah pas berfoto, akhirnya saya melanjutkan perjalanan dan untuk pertama kalinya saya menemukan bangunan bersejarah Seoul Fortress. Mulai dari sini saya bertemu dengan banyak pendaki yang juga ingin mencapai puncak gunung. Setelah saya amati ternyata jalur yang saya lalui tidak begitu populer untuk para pendaki orang Korea. Namun jalur yang saya lalui sangat cocok digunakan untuk para turis yang ingin mendapatkan pemandangan yang unik. Mulai dari posisi ini, di sepanjang perjalanan jalan mendaki yang saya lalui selalu ditemani oleh benteng sampai mencapai puncak gunung.

b

Papan pengumuman larangan mengambil foto ke arah istana presiden Korea

Selama menyusuri jalan mendaki dengan pemandangan benteng di samping saya, saya menemukan beberapa bangunan kecil seperti pos pemantauan. Saya mengira pos ini khusus untuk para pendaki yang ingin melihat pemadangan di sekitar gunung namun setelah saya amati di dalam pos tersebut terdapat seorang tentara lengkap dengan helm dan senjatanya. Dari sini saya sadar bahwa pos ini ternyata digunakan untuk melindungi istana presiden Korea Selatan dari gangguan-gangguan yang tidak diinginkan. Hampir di sepanjang perjalanan, saya menemui pos ini untuk setiap 100 meter. Ternyata ada juga pantangan bagi para pendaki yang ingin mengambil foto ke arah kota Seoul. Dari papan pengumuman dituliskan bahwa kita boleh mengambil foto ke semua arah kecuali ke arah istana presiden yang terletak tidak jauh dari posisi pos pemantau ini. Tujuan utamanya jelas untuk menghindari adanya mata-mata yang ingin berbuat sesuatu terhadap istana presiden tersebut. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam, akhirnya saya sampai di puncak dimana disana sudah banyak para pendaki mulai dari anak kecil sampai orang lanjut usia sedang beristirahat disana. Dari pengalaman saya mendaki gunung di Korea, puncak gunung selalu ditandai dengan adanya sebuah batu besar hitam dengan tulisan ketinggian gunung tersebut dan juga sebuah bendera Korea Selatan.

c

Pemandangan benteng Seoul dan jalan menuju puncak gunung Inwangsan

Setelah beristirahat cukup, saya melanjutkan perjalanan untuk turun dari gunung namun kali ini saya menempuh jalur yang berbeda dengan yang sebelumnya untuk bisa mendapatkan pemandangan yang berbeda pula. Ketika turun memakai jalur turun ini, saya juga bertemu dengan banyak orang yang ingin mencapai puncak bahkan ada sebuah grup yang terdiri dari bapak-bapak dan ibu-ibu dengan pakaian khas mendaki di Korea yang sibuk melakukan foto dengan hebohnya. Ternyata kekinian tidak hanya dilakukan oleh anak muda Korea namun bapak ibu sekalipun tidak jauh berbeda. Jika sebelumnya sepanjang perjalanan saya menemui benteng yang sudah direnovasi dan bersifat modern, melalui jalur turun ini saya menemukan benteng Seoul dengan wujud aslinya yaitu berupa tumpukan bebatuan tanpa ada balutan semen modern. Hal ini menjadi saya tarik tersendiri bagi para pendaki yang ingin merasakan bagaimana wujud Korea pada jaman kerajaan dahulu. Perjalanan turun ini lebih cepat dari pendakian sebelumnya dan perjalanan saya ini semakin dekat dengan bukit persis di belakang istana presiden Korea yang juga merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Bukhansan.

d

Benteng Seoul peninggalan kerajaan Korea pada masa dinasti Joseon di Inwangsan

Akhirnya, saya sampai di akhir jalan turun dari jalur menuju puncak gunung Inwangsan dan menemukan sebuah taman yang sangat asri dikelilingi rumah-rumah berbentuk villa. Ternyata benteng Seoul masih berlanjut disini namun dengan tinggi yang lebih rendah jika dilihat dari posisi dalam bentengnya. Disinilah saya menemukan tanpa sengaja sebuah pohon yang sepertinya pernah saya liat di sebuah drama Korea. Setelah saya ingat-ingat ternyata pohon ini pernah dijadikan sebagai tempat syuting drama Fated to Love You yang pernah tayang di televisi nasional MBC Korea pada tahun 2014 yang lalu. Pohon ini dijadikan lokasi untuk mengubur kenangan masa lalu dan ternyata taman asri yang saya temui sebelumnya juga digunakan untuk syuting adegan pernikahan antara Jang Hyuk dan Jang Nara.

e

Pohon yang pernah menjadi lokasi syuting drama Korea Fated to Love You

Karena sudah kebelet untuk buang air kecil akhirnya saya berusaha mencari jalan pulang dengan mengikuti para orang tua yang juga ramai pulang setelah mendaki gunung. Setelah keluar taman, saya menemukan tempat pemberhentian bus menuju stasiun subway di dekat istana Gyeongbokgung. Sepanjang perjalanan menuju stasiun, saya dapat melihat area belakang dan samping istana presiden Korea yang asri dan dijaga ketat oleh polisi keamanan Korea karena jalan besar yang dilalui bus berada tepat di samping pagar pembatas istana presiden. Okay, finally another mountain in Korea was done.

Tautan yang bermanfaat :

www.visitkorea.or.kr

 

[Collaboration Book 2016] Wonderful Travelling Experiences in South Korea

In the late 2015, one of UGM Korean Language and Studies program’ lecturer gave me an opportunity to write my experiences conquering many wonderful places in South Korea along with some Indonesian people living there. As a result, an amazing collaboration book in Bahasa Indonesia was created. This book were presented by International Association of Korean Studies in Indonesia, Korean Studies Center of Universitas Gadjah Mada, and Indonesia Open University in South Korea.

In this book, I had contributed to share 3 stories about some amazing places to visit and enjoy in some parts of South Korea including :

  1. MENIKMATI SEOUL DARI PUNCAK INWANGSAN <인왕산에서 본 서울> (Page 39)
  2. PULAU JEJU: SEBUAH KEAJAIBAN ALAM DUNIA DI KOREA <제주도: 경이로운 자연경관> (Page 144)
  3. SENSASI SERU DI DEMILITARIZED ZONE (DMZ) <비무장 지대의 흥미짂짂함> (Page 168)

Check it out the detail contents of our experiences below.

[Wireless Network] A Brief Introduction to LTE-U (LTE Advanced in Unlicensed Spectrum)

Spectrum is life-blood of wireless networks. Licensed spectrum is operators’ first choice, as it provides reliability, and predictable performance. Hence the industry is hard at work to make best use of existing spectrum and looking for more licensed spectrum via traditional auctions and innovative paradigms such as authorized/licensed shared access (ASA/LSA). At the same time, to support the insatiable data demand, operators will also have to leverage readily available unlicensed spectrum. Bringing LTE Advanced to unlicensed spectrum is the most efficient option to achieve that.

Bringing LTE Advanced to unlicensed spectrum is really a simple idea with immense benefits. It involves leveraging the large number of small cells that operators are planning to deploy and aggregating unlicensed spectrum with the licensed spectrum for LTE Advanced. The existing core network can be used as is. In essence, the whole system works as a unified LTE network to efficiently leverage both licensed and unlicensed spectrum bands.

LTE Advanced in the unlicensed bands can provide better coverage and capacity than Wi-Fi deployed by network operators (also referred to as Carrier Wi-Fi), while allowing for seamless flow of data between licensed and unlicensed spectrum through a single core network. This means operators can augment the capacity of their networks by utilizing the unlicensed spectrum more efficiently, while also providing the tightest possible interworking between the licensed and unlicensed bands. From the user perspective, this means an enhanced broadband experience—higher data rates, seamless use of both licensed and unlicensed bands, higher reliability, better mobility, and more. LTE Advanced in unlicensed bands is carefully designed to harmoniously co-exist with Wi-Fi. There are many features to avoid and mitigate interference, as well as to share the resources proportionately and fairly, when using the same channel, all-in-all to be a “good-neighbor” to Wi-Fi.

Source : Qualcomm