Home » Publication
Category Archives: Publication
[Travelling Notes] Jeju Island : A World Natural Heritage from Korea (Indonesian Version)
*Seperti yang telah diceritakan secara singkat di POST ini.
Traveling atau bertamasya merupakan salah satu hobi dan kegiatan saya selama tinggal di Korea Selatan di sela-sela tugas saya selama menjadi mahasiswa S-2. Banyak sekali tempat wisata yang sangat indah disana. Namun banyak sekali pelancong yang hanya mengetahui Seoul yang merupakan ibukota negara sebagai pusat wisata di Korea Selatan. Seperti banyak orang ketahui, Seoul memang terkenal dengan wisata sejarah yang berkaitan dengan istana dan tempat-tempat tradisional serta wisata modern yang banyak berkaitan dengan dunia perbelanjaan dan landmark populer seperti Seoul Tower dan gedung-gedung pencakar langit di daerah Gangnam.
Selama tinggal di Korea Selatan selama tiga tahun, memang saya lebih banyak menghabiskan jalan-jalan di kota Seoul dan kota-kota sekitarnya di daerah utara Korea Selatan sampai dengan perbatasan dengan Korea Utara. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu untuk melakukan wisata jarak jauh dan keterbatasan dana selama dua tahun berada di Korea. Namun sejak lulus dari studi S-2 saya, pertimbangan untuk melakukan wisata ke daerah selatan Korea Selatan menjadi semakin besar. Hal ini dipicu setelah saya banyak mengobrol dengan teman-teman Korea saya bahwa ada satu tempat wisata paling populer di Korea Selatan yang sering dikunjungi oleh warga negara Korea Selatan sendiri. Tempat wisata tersebut dikenal dengan nama Pulau Jeju. Sedikit heran karena Korea Selatan selama ini hanya terkenal bagian daratannya saja, tetapi ternyata justru pulau inilah yang sangat terkenal.
Pulau Jeju merupakan pulau yang terletak di sisi paling selatan dari semenanjung Korea yang berbatasan laut dengan negara Jepang bagian selatan dan ujung daratan Korea Selatan di bagian utaranya. Pulau ini merupakan satu-satunya pulau besar di Korea Selatan yang memiliki gunung yang aktif dan tertinggi di Korea Selatan yang bernama Gunung Halla dengan ketinggian kurang dari 2000 meter diatas permukaan laut. Pulau ini memiliki besar kurang lebih seperti pulau Bali di Indonesia. Pulau ini juga dinobatkan sebagai salah satu World Natural Heritage oleh UNESCO, World 7 Wonders of Nature, dan juga tiga tempat wisata disana selain dari pulaunya sendiri juga masuk dalam warisan dunia yang dikokohkan oleh UNESCO. Karena pulau ini terletak di bagian paling selatan semenanjung Korea, lingkungan alam pulau ini sedikit berbeda dengan daerah daratan semenanjung Korea yang merupakan wilayah subtropis dan justru hampir mirip dengan daerah tropis seperti negara-negara di ASEAN. Di pulau ini, pohon palem yang mirip kelapa dan beberapa tumbuhan tropis dapat tumbuh dengan baik di pulau ini.
Kembali ke cerita traveling saya, saya baru sempat berkunjung ke pulau ini setelah hampir tiga tahun tinggal di Korea Selatan. Hal ini bisa dikatakan sangat telat banget bagi orang asing yang sudah cukup lama tinggal di Korea Selatan. Pada awal tinggal di Korea Selatan sebenarnya rencana untuk kesana sudah ada namun tidak terealisasi karena perencanaan yang kurang matang dan kesibukan di laboratorium sebagai kuli riset. Rencana ini benar-benar terealisasi sebelum saya pulang ke Indonesia setelah perencanaan yang matang bersama empat teman saya satu kampus yang berasal dari berbagai negara. Perencanaan menuju kesana membutuhkan waktu sekitar satu bulan. Ada beberapa hal yang diperlukan sebelum berangkat menuju ke pulau Jeju diantaranya adalah tiket pesawat, rencana tempat wisata yang akan dikunjungi, akomodasi yang dibutuhkan dan juga dana budget yang dibutuhkan sebelum berangkat sampai dengan kembali ke Seoul (kota tempat tinggal saya selama di Korea Selatan).
Bergaya di salah satu lukisan 3D di Trick Art Museum
Rencana awal kami mulai sekitar bulan Mei 2015 yang lalu. Pada waktu itu saya dan teman-teman saya mulai mencari lokasi-lokasi tempat wisata favorit di pulau Jeju yang akhirnya kita malah menemukan terlalu banyak tempat wisata yang bagus dan membuat bingung kami. Setelah itu kami mencari tiket pesawat yang murah untuk perjalanan pulang pergi dari Seoul – Pulau Jeju dan sebaliknya. Lumayan susah untuk mencari tiket yang sangat murah karena harganya yang sering berubah-ubah dan akhirnya kami menunggu pembelian tiket pesawat sebulan sebelum rencana keberangkatan. Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah mencari tempat menginap selama disana yang tentu saja haruslah berharga mahasiswa karena dana yang terbatas namun tetap enak untuk ditinggali. Setelah hampir sebulan survey sana sini mengenai ketiga hal tersebut akhirnya pada akhir Juni kami dapat memutuskan semua keperluan yang dibutuhkan dengan budget mahasiswa. Keterangan lebih detail mengenai rencana tersebut adalah sebagai berikut. Kami akhirnya mendapatkan tiket pesawat yang murah promo melalui online shopping Korea Selatan sebesar 70.000 won atau sekitar Rp. 800.000 untuk pulang pergi pada hari kerja, tempat tinggal guesthouse khusus untuk orang asing sehingga berbahasa inggris dengan besar 19.000 won atau Rp. 250.000 per malam, dan travel tour untuk sehari penuh sebesar 79.000 won atau Rp. 900.000 untuk tujuh tempat wisata favorit di pulau Jeju. Karena kami berkunjung di pulau Jeju hanya dalam waktu dua hari disebabkan keterbatasan waktu kami, maka total biaya yang dikeluarkan dari awal berangkat sampai dengan pulang kembali ke kota Seoul (termasuk makan untuk 2 hari selama disana) adalah sekitar 200.000 ~ 250.000 won atau sekitar Rp. 2.800.000.
Setelah perencanaan yang matang diselesaikan akhirnya kami jadi berangkat pada tanggal 21 Juli 2015 dan kembali ke Seoul pada tanggal 22 Juli 2015. Dapat dikatakan perjalanan kami sangatlah kilat karena biasanya turis yang berkunjung ke pulau Jeju membutuhkan waktu 4 sampai 5 hari untuk memuaskan diri berkunjung ke seluruh tempat-tempat wisata disana. Namun ternyata, dengan waktu dua hari tersebut, sudah lebih dari puas karena rencana kami yang matang dan kesigapan kami dalam melihat jadwal transportasi disana serta ketepatan waktu dalam mengunjungi dari satu tempat ke tempat lain. Dalam hari saja kita dapat berkunjung ke sekitar 11 tempat wisata favorit di pulau Jeju walaupun dengan tubuh yang capek.
Perjalanan dimulai pada tanggal 21 Juli 2015. Sebelumnya, saya bersama empat teman saya yang berasal dari Indonesia, Vietnam, Ghana, dan Uzbekistan sudah pergi ke bandara pada waktu hampir tengah malam hari sebelumnya waktu Seoul dengan menggunakan kereta bawah tanah selama kurang lebih satu jam perjalanan. Kejadian lucu dan menantang mulai berawal disini. Kami berpikir bahwa bandara akan selalu buka 24 jam berdasarkan pengalaman di beberapa bandara yang pernah kami singgahi. Namun ternyata bandara yang bernama Gimpo International Airport ini hanya beroperasi sampai dengan pukul 11 malam waktu setempat sehingga ketika kami sampai di lobi bandara, ruangan sudah sangat gelap yang membuat kita kebingungan. Kami awalnya memang berencana untuk tidur di bandara jadi kita mulai mencari tempat duduk yang enak. Ketika kami sedang asyik mencari tempat duduk, ada petugas bandara yang menegur dan ternyata malah mengusir kita keluar dari bandara. Akhirnya dengan kebingungan kami keluar bandara dan mulai mencari tempat mangkal yang enak sampai bandara buka pada pagi harinya. Untungnya, bandara ini tidak jauh dari permukiman penduduk yang akhirnya kita mangkal di salah satu restoran cepat saji sambil bersenda gurau sampai bosan. Setelah bosan kita pindah ke tempat karaoke yang selalu marak di Korea Selatan. Ternyata setelah menghabiskan waktu di kedua tempat tadi, waktu buka bandara masih cukup lama akhirnya kami kembali ke area taman bandara dan malah tiduran di rerumputan depan bandara tanpa tahu malu. Ternyata teman-teman saya yang berasal dari negara lain tidak berbeda dengan perilaku umum masyarakat Indonesia yang meng-gembel di tempat manapun yang ada. Setelah satu jam istirahat di rerumputan, dengan terpaksa kami berpindah lagi ke depan lobi bandara karena hujan mulai turun. Bagian ini merupakan bagian yang tak terlupakan sebelum berangkat ke pulau Jeju karena kami seperti melakukan warming-up terlebih dahulu atau bisa dibilang capek duluan sebelum berangkat. Akhirnya setelah menunggu satu jam kemudian, bandarapun mulai buka dan kami check-in, kemudian kami berangkat dengan pesawat pertama pada pukul 6.30 waktu setempat.
Setelah perjalanan dilalui selama 45 menit, akhirnya kami tiba di bandara Jeju International Airport. Kesan pertama keluar dari bandara ini adalah suasana tropis seperti di Indonesia karena banyaknya pohon palem tumbuh di depan bandara. Setelah makan pagi di bandara (lagi-lagi di restoran cepat saji namun dengan brand yang berbeda), kami dijemput travel tour khusus orang asing dan perjalanan hari pertamapun dimulai. Sebenarnya ada tiga courses (east, west, south course) yang disediakan oleh pihak tur, dan kami memilih East Course karena banyak tempat wisata menarik ada disana.
Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah Trick Art Museum yang merupakan museum dimana kita dapat berfoto dengan lukisan 3 dimensi yang seakan-akan lukisan tersebut hidup dan kita masuk ke dalam dunia lukisan tersebut. Banyak sekali lukisan 3 dimensi disana yang menarik perhatian dengan hasil foto yang sangat lucu dan indah. Kemudian perjalanan kita berlanjut ke Seongeup Folk Village yang merupakan desa dengan rumah tradisional khas pulau Jeju. Disana kami disambut oleh salah satu penduduk asli penerus bersama istrinya di pulau Jeju. Beliau menjelaskan berbagai macam hal terutama tentang sejarah dan kehidupan sehari-hari di pulau Jeju yang sebagian besar merupakan penyelam pencari makan di laut. Hal yang unik terjadi disini. Selama beliau yang merupakan bapak dengan umur yang cukup tua, beliau selalu menyelipkan kata-kata berbahasa Indonesia seperti harimau, matahari, capek, pengemis selama memberi penjelasan yang membuat saya kaget. Saya mengira karena si bapak menghormati para turis yang datang termasuk saya. Namun sebelum kita pergi ke lokali wisata berikutnya, si bapak menghampiri saya dan berkata dalam bahasa Indonesia, “Dari Jakarta atau Bandung ?”, sayapun kaget dan langsung bilang bahwa saya berasal dari Bandung (sebenarnya karena saya pernah tinggal di Bandung selama 4 tahun). Usut punya usut ternyata si bapak pernah tinggal di Indonesia selama 3 tahun sebagai manajer di salah satu perusahaan sepatu luar negeri yang ada di Indonesia. Akhirnya si bapak mengajak kami berlima berfoto bersama yang tidak dialami oleh para turis asing yang lain, eksklusif hanya kami berlima. Perjalanan selanjutnya adalah makan siang di restoran tradisional pulau Jeju dengan makanan khasnya daging babi hitam panggang. Karena saya dan teman saya dari Uzbekistan beragama muslim, dan teman saya dari Ghana tidak suka babi, kami bertiga akhirnya makan bibimbap yang merupakan paduan nasi dengan berbagai macam sayur dengan saos merah sebagai pelengkap. Setelah makan kami sempat berkunjung ke area desa tradisional yang cukup luas yang lucunya walaupun rumahnya sederhana namun isi rumahnya sangat modern dengan pemancar TV kabel di atap rumah.
Berfoto di samping World 7 Wonders of Nature dari Korea Selatan, Gunung Ilchulbong
Petualangan kami berlanjut ke satu tempat yang baru saja menjadi World 7 Wonders of Nature beberapa tahun yang lalu yaitu bekas gunung aktif yang berada di tepi laut timut pulau Jeju yang terkenal dengan nama gunung Ilchulbong atau Sunrise Peak dalam bahasa inggris. Gunung ini sangat fenomenal karena bentuk dan lokasinya yang unik. Sebelum mendaki ke gunung ini kami menikmati pertunjukan women diver yang merupakan pekerjaan asli penduduk perempuan di pulau Jeju untuk mencari makanan laut dilengkapi dengan nyanyian. Hebatnya para perempuan tersebut adalah nenek-nenek paruh baya. Setelah puas menonton, kami melanjutkan perjalanan ke puncak gunung Ilchulbong. Kami hanya diberi waktu oleh tour guide kami selama satu jam untuk naik dan turun dari puncak akhirnya kita bergegas setengah berlari untuk mulai mendaki. Dengan ngos-ngosan dan habis satu botol air minum akhirnya kami sampai di puncak yang merupakan sebuah cekungan. Capek namun sangat puas dengan pemandangan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, itu yang kami rasakan waktu itu. Kami tiba di tempat parkir bus tepat waktu sebelum berangkat masih sambil bermandikan keringat.
Gunung Ilchulbong tampak dari depan
Selama perjalanan ke tempat berikutnya, capek sedikit demi sedikit hilang karena mata kami dimanjakan dengan pemandangan Jongdalri Shore Road yang merupakan jalan di tepi laut yang menebarkan pemandangan indah pulau Jeju dengan laut biru mudanya. Warna laut di pulau Jeju mirip sekali dengan laut-laut di daerah tropis, tidak mirip sama sekali dengan warna laut yang gelap di daerah Korea Selatan daratan. Setelah menempuh perjalanan hampir setengah jam, kami sampai di lokasi wisata terakhir untuk hari pertama yaitu salah satu World Heritage UNESCO yang wajib dikunjungi di pulau Jeju yaitu Manjang Cave. Gua ini bukan gua pada umumnya karena gua ini merupakan jalur pelarian lava ketika gunung Halla meletus dan merupakan lubang lava terpanjang di Asia. Kami membutuhkan waktu satu jam pulang pergi untuk menyusuri lubang lava ini. Perjalanan hari pertama di pulau Jeju berakhir sudah dan akhirnya kami kembali ke kota Jeju yang terletak di bagian utara pulau Jeju untuk istirahat. Setelah istirahat beberapa jam, pada malam harinya kami menyusuri kota Jeju yang ternyata kota ini tidak jauh berbeda dengan kota Seoul dari keramaian dan tata kotanya namun dengan ukuran yang lebih kecil. Setelah makan malam dan capek berkeliling kota dengan jalan kaki akhirnya kami pulang dan tidur lebih cepat untuk petualangan hari berikutnya tanpa bantuan tour guide alias perjalanan mandiri.
Di depan pintu masuk rumah tradisional pulau Jeju
Pagi hari esoknya, kami melanjutkan perjalanan secara mandiri untuk menghemat biaya wisata dengan naik bus kota. Untungnya, pihak pemerintah pulau Jeju sudah memberikan kemudahan kepada turis asing dengan memberikan peta jalur dengan nomor busnya yang sangat terstruktur sehingga kami tidak perlu tersasar (walaupun akhirnya kesasar juga karena ada beberapa jalur dipeta tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya). Perjalanan pagi ini kami mulai dengan pergi salah satu pantai terkenal di pulau Jeju bagian utara yaitu Hamdeok Beach. Dengan pasir putih dan air laut yang berwarna hijau muda beningnya kami memanjakan diri dengan bermain air dan berfoto ria disana sambil menikmati semilirnya angin di pagi hari berkabut.
Nikmatnya mengosongkan pikiran di pantai pasir putih Hamdeok yang jernih
Setelah puas disana kami melanjutkan perjalanan menaiki bus dengan nomor yang sama dan berpindah bus di satu titik untuk menuju pulau Jeju tengah. Kami sempat menyeberang jalan berkali-kali karena arah perjalanan kita salah dan untungnya saya dapat membaca tulisan Hangul alias aksara Korea dan dapat menemukan jalur yang benar. Perjalanan selanjutnya adalah menuju sebuah kawah tanpa lava yang terkenal dengan pemandangan hijaunya yang menawan, Sangumburi Crater. Yang unik dari tempat ini adalah lokasi kawahnya yang tidak berada di atas gunung namun berada hampir datar dengan tanah sekitarnya namun terdapat cekungan bulat besar ditengah. Lokasinya yang berada di tengah lahan hijau yang luas membuat pemandangan seperti berada di daerah padang savana Selandia Baru yang luas. Disini juga dapat dilihat sisa-sisa letusan yang sudah berbentuk batu keras. Jika beruntung, gunung Halla dapat terlihat jelas pada saat cuaca cerah karena letaknya yang tidak terlalu jauh dari kawah ini. Sebenarnya masih ada beberapa tempat yang ingin kami kunjungi, namun karena keterbatasan waktu dan harus kembali ke Seoul pada malam harinya, kami memutuskan untuk mengunjungi dua buah tempat wisata yang saling berdekatan. Terlebih dahulu kami harus kembali ke halte awal karena lokasi yang akan kami kunjungi berlawanan arah dengan lokasi sebelumnya. Setelah berpindah bus kami mengelilingi kota Jeju yang penuh dengan tempat belanja terkenal seperti di pusat kota Seoul. Kami cukup kaget karena kota Jeju lebih besar dari apa yang kami perkirakan. Ternyata bus yang kami tumpangi tidak berhenti di tempat yang kami tuju. Dengan sedikit panik kami sempat berpikir untuk langsung ke bandara atau melanjutkan ke tempat wisata selanjutnya. Karena keinginan kami yang kuat, jalan alternatif selalu terbuka. Dengan bantuan satu bapak Korea yang sangat baik akhirnya kami menemukan bus alternatif menuju lokasi wisata walau harus dengan berbagai macam bahasa (dari bahasa inggris, korea, sampai dengan bahasa isyarat). Kami akhirnya lega bisa sampai ke lokasi terakhir yang ingin kami kunjungi. Pertama kami berkunjung ke Mysterious Road. Jalan ini sangat terkenal di pulau Jeju dan merupakan tempat wajib untuk dikunjungi. Jalan ini memiliki keanehan karena adanya hukum yang melawan grativasi yaitu pada posisi tertentu ketika jalan terlihat menanjak naik maka air akan naik keatas atau mobil yang dimatikan mesinnya akan bergerak keatas dengan sendirinya (yang harusnya bergerak ke bawah). Menurut beberapa orang di jalan ini orang akan melihat tipuan optik dimana jalan terlihat naik padahal sebenarnya turun. Di jalan ini sempat terjadi perdebatan antara saya dengan beberapa teman saya tentang keanehan jalan ini. Tempat lokasi wisata terakhir tidak jauh dari lokasi jalan ini adalah Love Land Museum. Taman cinta ini mungkin tidak seperti yang dibayangkan karena taman ini berisi patung-patung yang (maaf) beradegan vulgar sehingga museum hanya diperuntukkan untuk pengunjung dewasa. Kami sempat tertawa terbahak-bahak melihat isi dari museum ini, jarang-jarang bisa melihat beginian gratis.
Pemandangan hijau yang indah di sekitar Sangumburi Crater
Hari semakin sore sehingga kami memutuskan untuk langsung kembali ke bandara dan menyempatkan diri makan di restoran tradisional korea sebelum terbang kembali ke Seoul. Akhirnya pada pukul 10 malam waktu Seoul kami tiba di bandara Gimpo International Airport dan melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kereta bawah tanah sampai tiba di tempat tinggal kami. Ternyata perjalanan dua hari ini merupakan salah satu perjalanan wisata yang sangat sukses walaupun sedikit menemui hambatan. Namun karena kami selalu menghadapinya dengan senyuman, maka hasil yang didapatkan lebih dari apa yang kami harapkan. Perjalanan ini akhirnya ditutup dengan sharing foto-foto dan upload-an di media sosial yang membuat teman-teman yang lain penasaran untuk segera berkunjung ke pulau Jeju. Finally, Jeju Island was done.
Tautan yang bermanfaat :
[Travelling Notes] Enjoying Seoul From Inwangsan Peak (Indonesian version)
*Seperti yang telah diceritakan secara singkat di POST ini.
Berkunjung di Seoul tidak afdol jika belum merasakan sensasi naik gunung berbatu yang bertebaran di kota tak kenal lelah setiap harinya ini. Kota Seoul memang memiliki dataran yang beraneka ragam mulai yang datar di pusat kota sampai dengan bukit-bukit dan pegunungan yang mengisi di pinggir maupun di tengahnya. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi saya yang pernah tinggal di kota ini selama tiga tahun. Kota Seoul memiliki sebuah Taman Nasional yang merupakan gugusan gunung Bukhansan yang terletak di sebelah utara istana di pusat kota Seoul. Gunung ini sudah sangat terkenal sejak Korea Selatan masih merupakan jaman kerajaan yang sering muncul sebagai lukisan seniman Korea.
Salah satu bagian dari gugusan gunung ini adalah gunung Inwangsan. Gunung ini terletak tepat di sebelah kiri istana terbesar di Korea Selatan yang bernama Gyeongbokgung di pusat kota Seoul. Dapat dikatakan gunung ini merupakan pelindung bisu istana tersebut. Inwangsan memiliki ketinggian sekitar 338 meter di atas permukaan laut. Tentu ketinggian ini sangat tidak seberapa jika dibandingkan dengan gunung-gunung di Indonesia yang bisa mencapai ribuan meter diatas permukaan laut. Namun gunung ini memiliki keistimewaan tersendiri karena dari gunung ini kita bisa melihat pusat kota Seoul yang dikelilingi oleh gedung-gedung pencakar langit dengan Seoul Tower, istana Gyeongbokgung dan juga istana pemerintahan presiden Korea Selatan sebagai pelengkapnya. Tidak hanya itu, gunung ini merupakan salah satu tempat bersejarah dimana bagian dari Seoul Fortress atau Benteng Seoul berada disini yang mengelilingi dan membatasi lokasi istana-istana kerajaan yang ada di Seoul.
Mendaki gunung di Seoul sangat menarik jika dilakukan pada dua musim yang paling bagus di Korea Selatan yaitu pada musim semi atau musim gugur. Pada kedua musim ini kita dapat melihat keindahan ketika bunga-bunga mulai bermuculan dan juga ketika daun-daun mulai menampakkan warna yang beraneka ragam. Selain itu juga karena temperatur udara yang tidak panas dan tidak dingin sehingga kedua musim tersebut merupakan masa yang paling cocok untuk mendaki gunung khususnya gunung Inwangsan ini. Gunung Inwangsan ini bukan merupakan gunung pertama yang saya daki namun sebelumnya saya sudah beberapa kali naik gunung mulai dari gunung Daedunsan di tengah-tengah negara Korea Selatan yang sangat terkenal dengan warna-warni dedaunan di musim gugur, gunung Buramsan yang berada persis di belakang kampus saya ketika berkuliah di Korea Selatan, dan beberapa gunung lainnya. Gunung Inwangsan ini baru saya daki pada awal musim gugur tahun 2014 yang lalu. Cukup dengan memakai pakaian dan sepatu olahraga serta tas kecil berisi bekal minum dan cemilan, saya berangkat dari tempat tinggal saya di utara Seoul pada pagi hari dengan menggunakan subway yang berada tidak jauh dari tempat tinggal saya. Berwisata di Seoul sangatlah nyaman karena setiap tempat terhubung langsung dengan stasiun-stasiun subway salah satunya jalan menuju gunung Inwangsan ini. Untuk mencapai gunung ini kita dapat menggunakan subway Line 3 yang berwarna jingga dan turun di stasiun Dongnimun exit 2. Setelah keluar dari pintu keluar jalan ke depan sampai menemui sebuah jalan kecil di samping kiri, kita cukup dengan berbelok dan mengikuti papan arah menuju gunung tersebut. Sebenarnya ada tiga buah jalur yang bisa dilewati untuk menuju gunung tersebut namun jalur ini merupakan jalur yang paling gampang dan banyak tempat wisata yang bisa dijadikan bahan foto khususnya untuk para turis yang tidak begitu mengenal kota Seoul secara detail.
Seonbawi Rock yang berbentuk dua orang biksu di dekat Inwangsa Temple
Setelah berbelok ke sebuah jalan kecil di dekat pintu keluar stasiun Dongnimun, jalan mendakipun mulai tampak namun masih dengan jalan aspal yang sangat bagus dikelilingi beberapa apartemen khas Korea. Lima belas menit menyusuri jalan mendaki tersebut akhirnya saya menemukan sebuah temple untuk umat Budha di Seoul yang bernama Inwangsa di Guksadang. Seperti kebanyakan temple-temple yang ada di Korea Selatan, tempat ini memiliki sebuah gerbang dengan tiang berwarna merah dan atap berwarna hitam kecoklatan serta bentuk bangunan terbuat dari kayu dengan atap yang mirip dengan atap istana-istana di Korea. Ternyata posisi gerbang sangatlah unik karena untuk mencapai gerbang kita harus mendaki dengan sudut lebih dari 45 derajat alias lumayan sangat curam. Walaupun hanya beberapa meter, jalan menuju gerbang cukup membuat saya terengah-engah. Setelah mencapai gerbang, jalan menuju bangunan utana lumayan sempit dan lebih landai dibandingkan jalan sebelumnya. Karena saya sampai di tempat tersebut sekitar pukul 8 pagi, tempat tersebut masih sangat sepi hanya terdengar beberapa biksu yangs sedang berdoa di dalam temple utama.
Sebenarnya fokus utama saya menuju tempat tersebut adalah bukan temple nya namun sebuah bebatuan unik dan sakral yang terletak tidal jauh dari bangunan tersebut. Bebatuan yang unik tersebut bernama Seonbawi Rock. Bebatuan ini terdiri dari dua buah batu yang unik yang memiliki bentuk mirip dengan dua orang biksu sehingga dinamakan nama tersebut. Bebatuan ini sering digunakan untuk umat Budha berdoa dan juga khususnya para wanita yang sedang hamil untuk meminta anak laki-laki. Ketika saya sampai disana, tidak ada satu orangpun berada disana, hanya saya seorang, bau dupa khas temple, dan puluhan burung merpati bertengger di puncak bebatuan yang menemani saya sehingga saya dengan bebas membidik foto sebanyak-banyaknya disana.
Setelah puas menikmati keindahan bebatuan tersebut, saya melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung. Selama melewati jalur yang mendaki yang lumayan susah karena hanya berupa bebatuan dan tanah, saya tidak bertemu dengan seorangpun sehingga dapat dikatakan saya cukup berdebar-debar mendaki sendirian namun semakin semangat untuk mencapai puncak gunung. Setelah hampir setengah jam, akhirnya saya melihat sekilas dua orang tua yang kemungkinan besar suami istri yang sedang isitirahat di dekat bebatuan besar yang lain. Saya mengira saya sudah sampai di puncak namun saya curiga karena merasa terlalu cepat mencapai puncak. Ternyata tempat tersebut masih setengah perjalanan menuju puncak gunung Inwangsan. Dari tempat tersebut pusat kota Seoul dengan bangunan pencakar langitnya mulai terlihat. Setelah pas berfoto, akhirnya saya melanjutkan perjalanan dan untuk pertama kalinya saya menemukan bangunan bersejarah Seoul Fortress. Mulai dari sini saya bertemu dengan banyak pendaki yang juga ingin mencapai puncak gunung. Setelah saya amati ternyata jalur yang saya lalui tidak begitu populer untuk para pendaki orang Korea. Namun jalur yang saya lalui sangat cocok digunakan untuk para turis yang ingin mendapatkan pemandangan yang unik. Mulai dari posisi ini, di sepanjang perjalanan jalan mendaki yang saya lalui selalu ditemani oleh benteng sampai mencapai puncak gunung.
Papan pengumuman larangan mengambil foto ke arah istana presiden Korea
Selama menyusuri jalan mendaki dengan pemandangan benteng di samping saya, saya menemukan beberapa bangunan kecil seperti pos pemantauan. Saya mengira pos ini khusus untuk para pendaki yang ingin melihat pemadangan di sekitar gunung namun setelah saya amati di dalam pos tersebut terdapat seorang tentara lengkap dengan helm dan senjatanya. Dari sini saya sadar bahwa pos ini ternyata digunakan untuk melindungi istana presiden Korea Selatan dari gangguan-gangguan yang tidak diinginkan. Hampir di sepanjang perjalanan, saya menemui pos ini untuk setiap 100 meter. Ternyata ada juga pantangan bagi para pendaki yang ingin mengambil foto ke arah kota Seoul. Dari papan pengumuman dituliskan bahwa kita boleh mengambil foto ke semua arah kecuali ke arah istana presiden yang terletak tidak jauh dari posisi pos pemantau ini. Tujuan utamanya jelas untuk menghindari adanya mata-mata yang ingin berbuat sesuatu terhadap istana presiden tersebut. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam, akhirnya saya sampai di puncak dimana disana sudah banyak para pendaki mulai dari anak kecil sampai orang lanjut usia sedang beristirahat disana. Dari pengalaman saya mendaki gunung di Korea, puncak gunung selalu ditandai dengan adanya sebuah batu besar hitam dengan tulisan ketinggian gunung tersebut dan juga sebuah bendera Korea Selatan.
Pemandangan benteng Seoul dan jalan menuju puncak gunung Inwangsan
Setelah beristirahat cukup, saya melanjutkan perjalanan untuk turun dari gunung namun kali ini saya menempuh jalur yang berbeda dengan yang sebelumnya untuk bisa mendapatkan pemandangan yang berbeda pula. Ketika turun memakai jalur turun ini, saya juga bertemu dengan banyak orang yang ingin mencapai puncak bahkan ada sebuah grup yang terdiri dari bapak-bapak dan ibu-ibu dengan pakaian khas mendaki di Korea yang sibuk melakukan foto dengan hebohnya. Ternyata kekinian tidak hanya dilakukan oleh anak muda Korea namun bapak ibu sekalipun tidak jauh berbeda. Jika sebelumnya sepanjang perjalanan saya menemui benteng yang sudah direnovasi dan bersifat modern, melalui jalur turun ini saya menemukan benteng Seoul dengan wujud aslinya yaitu berupa tumpukan bebatuan tanpa ada balutan semen modern. Hal ini menjadi saya tarik tersendiri bagi para pendaki yang ingin merasakan bagaimana wujud Korea pada jaman kerajaan dahulu. Perjalanan turun ini lebih cepat dari pendakian sebelumnya dan perjalanan saya ini semakin dekat dengan bukit persis di belakang istana presiden Korea yang juga merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Bukhansan.
Benteng Seoul peninggalan kerajaan Korea pada masa dinasti Joseon di Inwangsan
Akhirnya, saya sampai di akhir jalan turun dari jalur menuju puncak gunung Inwangsan dan menemukan sebuah taman yang sangat asri dikelilingi rumah-rumah berbentuk villa. Ternyata benteng Seoul masih berlanjut disini namun dengan tinggi yang lebih rendah jika dilihat dari posisi dalam bentengnya. Disinilah saya menemukan tanpa sengaja sebuah pohon yang sepertinya pernah saya liat di sebuah drama Korea. Setelah saya ingat-ingat ternyata pohon ini pernah dijadikan sebagai tempat syuting drama Fated to Love You yang pernah tayang di televisi nasional MBC Korea pada tahun 2014 yang lalu. Pohon ini dijadikan lokasi untuk mengubur kenangan masa lalu dan ternyata taman asri yang saya temui sebelumnya juga digunakan untuk syuting adegan pernikahan antara Jang Hyuk dan Jang Nara.
Pohon yang pernah menjadi lokasi syuting drama Korea Fated to Love You
Karena sudah kebelet untuk buang air kecil akhirnya saya berusaha mencari jalan pulang dengan mengikuti para orang tua yang juga ramai pulang setelah mendaki gunung. Setelah keluar taman, saya menemukan tempat pemberhentian bus menuju stasiun subway di dekat istana Gyeongbokgung. Sepanjang perjalanan menuju stasiun, saya dapat melihat area belakang dan samping istana presiden Korea yang asri dan dijaga ketat oleh polisi keamanan Korea karena jalan besar yang dilalui bus berada tepat di samping pagar pembatas istana presiden. Okay, finally another mountain in Korea was done.
Tautan yang bermanfaat :
[Collaboration Book 2016] Wonderful Travelling Experiences in South Korea
In the late 2015, one of UGM Korean Language and Studies program’ lecturer gave me an opportunity to write my experiences conquering many wonderful places in South Korea along with some Indonesian people living there. As a result, an amazing collaboration book in Bahasa Indonesia was created. This book were presented by International Association of Korean Studies in Indonesia, Korean Studies Center of Universitas Gadjah Mada, and Indonesia Open University in South Korea.
In this book, I had contributed to share 3 stories about some amazing places to visit and enjoy in some parts of South Korea including :
- MENIKMATI SEOUL DARI PUNCAK INWANGSAN <인왕산에서 본 서울> (Page 39)
- PULAU JEJU: SEBUAH KEAJAIBAN ALAM DUNIA DI KOREA <제주도: 경이로운 자연경관> (Page 144)
- SENSASI SERU DI DEMILITARIZED ZONE (DMZ) <비무장 지대의 흥미짂짂함> (Page 168)
Check it out the detail contents of our experiences below.
[JKIICE Korea Journal 2015] Performance Analysis of Adaptive Radio Activation in Dual-Radio Aggregation System
Today’s smartphones and user devices are equipped with multiple radio interfaces increasingly. Aggregating theses multiple radio interfaces and using them concurrently will increase a user’s communication speed immediately, but at the expense of increased power consumption. In this paper, we develop a mathematical performance model of an adaptive radio activation scheme by which a radio interface is activated only when needed for performance increase and deactivated otherwise. The developed model shows that the adaptive scheme reduces delay significantly and almost halves power consumption below a certain level of traffic input.
You can buy the journal article HERE.
[IEIE Korea Journal 2014] A Comparative Study of Aggregation Schemes for Concurrent Transmission over Multiple WLAN Interfaces
To increase wireless capacity, the concurrent use of multiple wireless interfaces on different frequency bands, called aggregation, can be considered. In this paper, we focus on aggregation of multiple Wi-Fi interfaces with packet-level traffic spreading between the interfaces. Two aggregation schemes, link bonding and multipath TCP (MPTCP), are tested and compared in a dualband Wi-Fi radio system with their Linux implementation. Various test conditions such as traffic types, network delay, locations, interface failures and configuration parameters are considered. Experimental results show that aggregation increases throughput performance significantly over the use of a single interface. Link bonding achieves lower throughput than MPTCP due to duplicate TCP acknowledgements (ACKs) resulting from packet reordering and filtering such duplicate ACKs out is considered as a possible solution. However, link bonding is fast responsive to links’ status changes such as a link failure. It is shown that different combinations of interface weights for packet spread in link bonding result in different throughput performance, envisioning a spatio-temporal adaptation of the weights. We also develop a mathematical model of power consumption and compare the power efficiency of the schemes applying different power consumption profiles.
You can buy the journal article HERE.
[APWCS 2013 International Conference] Where to Aggregate?: A Comparative Study of Aggregation Strategies in Multi-Radio System
To increase wireless capacity, the concurrent use of multiple wireless interfaces, called aggregation, can be considered. In this paper, we focus on using multiple WiFi interfaces between an access point and a client, and packet-level traffic spreading between interfaces. Two aggregation strategies, link bonding and multipath TCP (MPTCP), are tested and compared in a multi-WiFi radio system with their Linux implementation. Various test conditions such as traffic types, network delay, locations, interface failures, and configuration parameters are considered. Experiment results show that aggregation increases throughput performance significantly over the use of a single interface. Link bonding achieves lower throughput than MPTCP due to duplicate TCP acknowledgements (ACKs) generated by packet reorderings. However, link bonding is better under long network delay and interface failures since it is fast responsive to links’ status changes. It is shown that different combinations of interface weights for packet spread in link bonding result in different throughput performance, envisioning a spatio-temporal adaptation of the weights. Two solutions, delayed ACK and filtering duplicate ACKs, are discussed for further enhancement of link bonding.